Dakwah Maksud Hidup


widgeo.net

Sunday 2 June 2019

Jangan pernah merasa cukup dalam beramal


Perasaan sudah cukup dengan amalan yang telah dilakukan akan menghentikan seseorang dari  usaha untuk menjadi lebih baik. Untuk pengingat siapapun juga jika sudah merasa cukup dengan amalan yang telah dilakukan, hendaknya membaca kisah kisah orang orang yang terdahulu. Niscaya, akan didapati perasaan bahwa amalan kita tidak ada apa-apanya.
Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya seorang Tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab tidak pernah sekalipun ketinggalan takbiratul ihram. Hanya dengan delapan hari saja shahabat Ubay bin Ka’ab sudah menghatamkan Al Quran. Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya Muhammad bin Jafar melaksanakan puasa 

Kita tidak diminta untuk menyaingi ibadah mereka, tetapi hati ini perlu berhati-hati dengan perasaan cukup akan kebaikan, sebab ianya bisa mencegah kita dari perbuatan baik lainnya. Ibarat orang yang sudah kenyang tidak akan makan, itulah umpama yang membuat orang-orang terdahulu begitu tersentak dan tak mau “merasa kenyang”, dan memilih untuk semangat beramal, karena mereka tidak pernah puas dengan kebaikan yang telah mereka lakukan.
Maka, berbuat baiklah dan jangan pernah puas. 

Namun perasaan tidak puas dalam meraih sebuah cita cita jika tidak kesampaian ada kalanya menimbulkan suatu kekecewaan dan bisa berakibat kemarahan. Maka berhati hatilah jika muncul gejala gejala seperti itu harus cepat cepat mawas diri, kendalikan diri secepat mungkin agar tidak menimbulkan akibat yang jauh lebih buruk
Marah memang menjadi bagian dari emosi yang sehat. Tetapi, dalam beberapa kasus, marah yang terus menerus atau persoalan kecil bisa membuat kemarahan meledak, itu menjadi pertanda hal yang lebih serius 

Perasaan ingin lebih baik dan sempurna dan tidak merasa puas dengan kondisi saat ini adalah hal yang sangat baik. Namun patut diingat jangan sampai berlebih lebihan. Dalam segala hal berlebih lebihan adalah tidak membawa kebaikan. Termasuk berlebih lebihan dalam beragama

Allah Azza wa Jalla berfirman:
  
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. [al-Mâ`idah/5:77]

Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

 “Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.
Itulah sebabnya Islam mengajarkan kepada seluruh ummatnya untuk wajib menuntut Ilmu Ilmu agama agar tidak sampai jatuh pada kondisi berlebih lebihan. Ilmu ilmu agama inilah yang akan mengontrol, membatasi  agar tidak jatuh pada Ghuluw.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

  “Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nuur [24]: 51).

Ilmu ilmu agama itulah yang akan menuntun kita pada kebenaran yang hakiki. Dalam memahami kebenaran seorang shahabat Nabi yang dikenal sebagai pintunya ilmu ilmu agama yakni Shahabat Ali bin Abi Thalib ra telah memberikan kepada kita konsep konsep kebenaran.

لَا تَعْرِف الْحَقَّ بِالرِّجَالِ ، اعْرِفْ الْحَقَّ ، تَعْرِفْ أَهْلَهُ

"Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal siapa di pihak yang benar." (Sayyidina Ali bin Abi Thalib)

Kalimat ini dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, juga kitab karyanya yang lain, Mîzânul 'Amal, ketika membahas tentang etika pencari ilmu dan guru. Imam al-Ghazali di kedua kitab tersebut menjelaskan tentang pentingnya mengetahui sesuatu secara objektif, apa adanya. Sebab, setiap ilmu secara analitis terlepas dari unsur indvidu manusia.
Pernyataan ini mengandung asumsi bahwa sesungguhnya manusia memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran secara mandiri. Memilah antara orang yang menyatakan "kebenaran" dan kebenaran itu sendiri penting agar kita tidak bias dalam menilai sesuatu. Tidak setiap yang datang dari orang yang kita cintai atau kagumi adalah benar, dan tidak pula seluruh yang bersumber dari orang yang sangat kita benci atau musuhi adalah salah. 

Di sinilah kemandirian berpikir sekaligus ketawadukan seorang pembelajar ditantang dan diuji. Ini juga menguatkan ungkapan populer yang berseru, "Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Pernyataan tersebut juga bukan berarti bahwa belajar kepada guru tidak penting. Justru sebaliknya, guru dalam pengertian luas bisa tersebar di mana-mana, bahkan siapa dan apa saja. Hanya saja, yang penting dicatat bahwa pembelajar adalah orang yang sedang mencari kebenaran, bukan sekadar menyerap informasi dari orang.

Ringkasnya dalam berbuat amal jangan ada kata sudah puas sebab kata sudah puas hanya akan menghentikan seorang hamba untuk beramal  yang lebih baik, lebih banyak, lebih sempurna. Namun harap hati hati jangan sampai lepas kontrol sehingga sampai emosi yang meletup letup dalam meraih amal amal agama. Jangan sampai berlebih lebihan dalam beragama ( Ghuluw ). Ghuluw adalah berlebih lebihan dalam beragama.  Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan. Maka sangat penting kedudukan Ilmu Ilmu agama dalam memahami hakekat kebenaran. Pelajaran penting yang hendak disampaikan Shahabat Ali ra adalah bahwa "Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal siapa di pihak yang benar." Dengan kata lain, "Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment

Kami akan sangat berbahagia apabila anda memberi komentar atas tulisan di atas. Jazakallooh atas segala perhatiannya.