Dakwah Maksud Hidup


widgeo.net

Sunday 31 March 2019

Amalan hati jauh lebih penting daripada amalan badan.


Hati merupakan inti dari diri seorang manusia. Dan, Allah SWT sangat memperhatikankondisi hati setiap hamba-Nya.
Rasulullah shallahu’alaihi wasallam bersabda:

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
 “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbuatan manusia dan apabila hati itu rusak, maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hati diibaratkan raja, sedang aggota badan adalah prajuritnya. Bila rajanya baik, maka akan baik pula urusan para prajuritnya. Bila buruk, maka demikian pula urusan para prajuritnya. Oleh sebab itu, dalam Islam amalan hati memiliki kedudukan yang agung. Bisa dikatakan, pahala dari amalan hati lebih besar daripada amalan badan. Sebagaimana dosa hati lebih besar daripada dosa badan. Oleh karena itu kita dapati; dosa kufur dan kemunafikan lebih besar daripada dosa zina, riba, minum khamr, judi dst.
Hati adalah standar kebaikan amalan badan. Ia ibarat pemimpin bagi badan. Baiknya hati akan berpengaruh pada baiknya amalan badan. Dan buruknya hati akan berpengaruh pada buruknya amalan badan.
Dalam hadits Qudsi disebutkan, dimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meriwayatkan dari Robb-nya, Allah ta’ala berfirman,

أنا أغني الشركاء عن الشرك, فمن عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته و شركه
“Aku paling tidak butuh pada sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan dalam keadaan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama dengan sekutunya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas sebagai dalil bahwa amalan hati lebih besar kedudukannya daripada amalan badan. Karena amalan badan tidak akan berguna bila seorang berlaku syirik, sebanyak apapun amalannya. Baik syirik kecil apalagi syirik besar.
Seperti seorang sedekah karena riya’ (dan riya ini letaknya di hati), maka akan sia-sialah pahala. Sebesar apapun nominal sedekah yang ia keluarkan. Atau membaca Al Qur’an supaya dipuji suaranya oleh orang-orang (sum’ah). Ini juga akan sia-sia pahalanya. Meski sebagus apapun lantunan suaranya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan:

الأعمال الظاهرة لاتكون صالحة مقبولة إلا بواسط أعمال القلب، فإن القلب ملك واﻷعضاء جنوده، فإذا خبث الملك خبثت جنوده
“Amalan badan tidak akan diterima tanpa perantara amalan hati. Karena hati adalah raja, sedangkan anggota badan ibarat prajuritnya. Bila Sang Raja buruk, maka akan buruk pula seluruh prajuritnya. ” (Majmu’ Al Fatawa, 11/208).

Hati juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera. Jika saja Allah Subhanahu Wata’ala tidak menciptakan hati bagi manusia, maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala  :

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16] : 78).

Ulama mengatakan hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yang karenanya akal bisa berfikir.
Jadi, tanpa hati berserta cahayanya seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia disebabkan kemampuannya untuk menilai bahwa sesuatu itu adalah baik atau buruk. Maka hendaknya seorang yang beriman berfikir dengan hati yang jernih.
Dengan demikian pantas jika dikatakan hati adalah inti atau raja dari setiap manusia. Sebab, pikiran, ucapan dan perilaku manusia sangat ditentukan oleh kondisi hatinya.
Semua manusia dilahirkan di atas fitrah yakni dibekali dengan hati yang sesungguhnya telah mengenal kebaikan dan keselamatan ( Islam )

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi.”

Dan dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنِّـي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءُ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ
(Allâh Azza wa Jalla berfirman): Sesungguhnya Aku menciptakan para hamba-Ku semua dalam keadaan hanif (lurus dan cenderung pada kebenaran) dan sungguh (kemudian) para syaitan mendatangi mereka lalu memalingkan mereka dari agama mereka…”

Hati yang dijaga akan senantiasa memancarkan kekuatan iman, semakin tenang dengan melakukan kebaikan-kebaikan, terutama kala mendengarkan ayat-ayat Allah dikumandangkan

. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal [8]: 2).

Amalan badan dan amalan hati merupakan amalan yang dicontohkan Rasulullah saw dan pertanda bahwa amalan tersebut semakin mendekati dengan Kehendak Allah SWT dan Sunnah Rasul saw yakni semakin timbul sifat kasih sayang terhadap semua makhluq. Sebaliknya amalan badan sehebat apapun akan tetapi jika tidak menimbulkan sifat kasih sayang terhadap semua makhluq boleh jadi ada kesalahan didalam amalan hatinya.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَٰنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Q.s. Maryam: 96).

(dari berbagai sumber)



Friday 29 March 2019


Sesungguhnya seluruh keputusan (qadha) yang telah ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya, mengandung banyak kebaikan bahkan tak satupun yang mengandung kemudharatan walaupun dalam realitanya terlihat seolah olah tidak menyenangkan.
Sebagai misal, kita bisa melihatnya pada urusan rezeki, Allah melapangkan rezeki untuk sebagian orang dan menyempitkannya bagi sebagian lainnya. Hal ini bentuk pengajaran dari Allah demi kemaslahatan hamba-Nya, bukankah Allah berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 27)

Qadha dari Allah juga merupakan instrumen pembersih hati dari noda-noda dosa dan kelalaian yang pernah dilakukan oleh seorang hamba, seperti disebutkan dalam hadits:
 
“Tidaklah sebuah musibah yang menimpa seorang muslim seperti penyakit, kegelisahan, kesedihan bahkan terkena duri sekalipun, kecuali Allah telah gugurkan dosa-dosa (kecilnya) dengan musibah tersebut.” (Muttafaq ‘Alaih).

Seberapa jauh kadar cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bisa dibuktikan dengan sikapnya yang selalu ridha menerima keputusan Sang Khalik. Bagaimana tidak? Dia yakin bahwa Rabb-Nya tidak menginginkan apapun kecuali kebaikan.
Hamba tersebut juga meyakini bahwa Allah tidak akan menciptakan dirinya hanya untuk disiksa. Akan tetapi, Allah menciptakan dirinya dengan Kekuasaan dan Kemurahan-Nya kepada semua makhluk agar mereka semua dapat masuk ke dalam surga, tempat yang penuh nikmat dan abadi.

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 216).

أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19).

Hendaknya kita juga mengingat bahwa di antara kelembutan Allah ta’ala pada hamba-Nya adalah: “Dia menakdirkan berbagai macam musibah, cobaan hidup, serta ujian berupa perintah dan larangan yang berat dijalankan oleh hamba-Nya, sebagai bentuk kasih sayang dan kelembutan pada mereka, serta untuk menuntun mereka pada kesempurnaan diri dan agar limpahan nikmat tercurah secara sempurna kepada mereka. “

Banyak kisah kisah yang menginspirasi betapa hamba Allah SWT yang pasrah dan prasangka baik kepada Allah SWT pada akhirnya memperoleh pertolongan dari Allah SWT
Ibunda Musa ‘alaihi as-salam yang membuang anaknya ke laut. Kita dapat membayangkan bahwa betapa khawatirnya ibunda Musa ketika anaknya berada di tangan keluarga Fir’aun. Kendati demikian, hal itu berbuah manis dan berujung kebaikan di kemudian hari. Pesan itulah yang berusaha disampaikan oleh firman Allah di atas, yaitu dalam firman-Nya yang artinya :

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216).

Demikian pula kisah Nabi Khidir yang membunuh seorang anak. Maka hendaknya kedua orang tuanya melihat takdir ini dengan kacamata nikmat dan rahmat, bahwa Allah ta’ala terkadang memalingkan suatu kenikmatan dari seseorang karena sayang kepadanya ! Tidakkah dia tahu ? Boleh jadi jika dirinya dianugerahi seorang anak, anak tersebut malah menjadi sumber kesengsaraan, kemalangan, dan penderitaan bagi kedua orang tua seperti yang menjadi alasan Khidr di atas.
Lalu apa yang menjadi pedoman dalam berupaya agar tidak terkesan pasif tanpa berbuat apapun menerima ketentuan dari Allah SWT
Inti dari semua ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang penyair,

عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَسْعَى إِلَى الْخَيْرِ جُهْدَهُ
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ تَتِمَّ الْمَقَاصِدُ

Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan
Tetapi, ia tidak akan bisa menetapkan keberhasilannya. Maksudnya keberhasilan adalah suatu kepastian menurut Allah SWT bukan mengikut nafsu manusia. Allah SWT hanya ingin melihat sejauh mana hambanya berusaha lalu dengan Kasih Sayang Allah SWT akan disempurnakan ikhtiarnya dengan memberi suatu anugerah yang hanya Allah SWT sajalah yang Maha Mengetahui segala hikmah hikmahnya.