Dakwah Maksud Hidup


widgeo.net

Saturday 22 June 2019

Manusia terhebat di dunia !


Akulah manusia terhebat di dunia. 
Aku dicintai semua orang. Tidak perlu berkata kata maka semua tahu keinginanku dan semua melayani kebutuhanku. Aku lapar aku haus aku pipis aku eek aku ngantuk sekalipun cuma dengan menangis , semua selesai masalah. 
Mau tahu siapa aku sebenarnya mau tahu rahasia apa yang aku punyai sehingga aku jadi sehebat ini ??? 
Aku lah dirimu yang sebenarnya saat masih bayi ! Saat itu dirimu masih putih bersih tanpa noda tanpa dosa. Saat itu dirimu hanya mengandalkan tangisan ketika ada sesuatu yang dirasa tidak nyaman. Bahkan dirimu juga tidak tahu sama sekali apa sesungguhnya yang tidak terasa nyaman ini, namun yakin sepenuhnya cukup dengan tangisan pasti hilang semua penderitaan ini.

Kamu beranjak tumbuh semakin dewasa. Kamu banyak berbuat ini dan itu yang melanggar perintah agama. Kamu tidak lagi pernah menangis saat ada sesuatu yang tidak nyaman. Bahkan kamu matikan perasaan tidak nyaman kamu saat berbuat dosa. Lambat laun kehebatan kamu yang selama ini semakin pudar. Orang tidak lagi suka kepadamu karena wajah kamu tidak lagi memancarkan ketaatan. Kamupun menyimpan sejuta penderitaan dibalik senyummu yang dibuat buat. Kamu menyimpan sejuta ketakutan dibalik segala yang kamu dapatkan dengan tidak benar. Kamupun semakin bingung mau kemana arah hidup ini sementara usia semakin mendekati kubur.

Wahai diri ini yang sudah terlalu jauh. Ayolah kita kembali seperti  saat saat masih bayi dulu. Menangislah dan menangislah kala menyendiri yang hanya ada Allah SWT saja. Jangan khawatir Allah SWT saat ini masih sama seperti saat kita bayi. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maha Mengetahui segala galanya Maha Kuasa menjadikan semuanya ini baik dan sempurna seperti sedia kala. Tinggalkan dosa dosa kejar amal amal agama sekuat kuatnya. Jangan mau kalah dengan bayi. Ayo kembalilah seperti bayi yang bersih dari dosa dosa dengan senantiasa bertaubat dan beristighfar menutupi segala dosa dengan amal amal agama. Jangan malu untuk menangis karena itulah senjata pamungkas alat menyelesaikan semua masalah.

Jadilah manusia terhebat di dunia dan di akhirat, tidak ada kata terlambat. !!!

Apa maksud prasangka baik kepada Allah SWT


Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik baik bentuk. Selain bentuk yang terbaik manusia diberi potensi yang terbaik. Hidup yang hanya sekali manusia wajib mengembangkan segenap potensi yang Allah SWT telah berikan. 

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

 “Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah” (HR. Muslim no. 2877).

Husnuzhon atau prasangka baik kepada Allah SWT adalah keyakinan yang sangat kuat tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa segala ciptaan Allah SWT segala aturan yang dibuat Allah SWT hanyalah untuk kebaikan semata baik didunia maupun di akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Allah Ta'ala berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ باَعًا، وَإِذَا أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya jika dia berzikir (mengingat-Ku), jika dia mengingat-Ku dalam jiwanya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku pada saat keramaian maka Akupun mengingatnya lebih baik dari mereka, dan jika dia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal maka Aku akan mendekatinya sehasta, dan jika dia mendekati-Ku sehasta maka Aku akan mendekatinya sejarak rentang dua tangan, dan jika dia mendekati-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendekatinya dengan berlari kecil".
(HR. Al-Bukhari) (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).

Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara husnuzhan dengan amal.  Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk mengingat-Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan. Siapa yang berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan mendorongnya berbuat ihsan dalam beramal.
Berprasangka baik bahwa Allah SWT pasti akan mengampuni dosa dosa tetapi kita senantiasa berbuat dosa adalah suatu tipu daya syaithon.Berprasangka baik bukan tanpa usaha berbuat baik.  
Ketika seorang hamba berprasangka bahwa Allah SWT telah memberikan kemampuan yang terbaik dalam dirinya untuk berbuat suatu amalan agama maka Allah SWT akan memberikan kemampuan tersebut sejauh kesungguh sungguhannya didalam beramal. Makna prasangka baik kepada Allah SWT bukan maksudnya pasif melainkan justru sebagai suatu keyakinan yang sangat kuat sekali bahwa Allah SWT berKehendak Baik dengan segala ciptaannya itu maka dengan segala daya dan upaya bagaimana mewujudkan segala kebaikan ini baik kebaikan dunia maupun kebaikan di akhirat kelak.

Lebih daripada itu saat seorang hamba semakin mendekati Allah SWT dengan amal amal agama Allah SWT jauh lebih mendekati hambanya itu. Sesiapa saja yang didekati Allah SWT dengan kedekatan yang sangat maka pasti akan ditolong pasti akan dilindungi pasti akan diberi kemudahan kemudahan maka permasalahan permasalahan dunia dan akhirat akan selesai dengan sebaik baiknya.
Berprasangka baik juga maksudnya berkeyakinan bahwa Allah SWT sesungguhnya menciptakan manusia dengan segala kebaikan kebaikan. Tidak ada satu orang manusiapun yang diciptakan dengan keburukan. Keyakinan bahwa segala yang diciptakan Allah SWT hakikatnya untuk kebaikan ummat manusia. Mungkin manusia mengira dalam suatu penciptaan tidak ada gunanya atau hal yang dibenci namun ternyata dikemudian hari berakibat baik demikian juga sebaliknya

Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman;

وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

 “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. 2: 216).

Setiap manusia yang terlahir di muka bumi ini adalah petarung sejati. Bagaimana tidak ! Dalam sperma yang terpancar kedalam rahim ibu jumlahnya kurang labih seratus juta benih sperma. Dari seratus juta benih sperma tersebut hanya satu yang memenangkan pertempuran. Siapakah pemenang tersebut ? Ya betul. Kita semua ini petarung sejati. Maka jangan pernah berprasangka buruk bahwa kita ini manusia tidak berguna. Masing masing hamba Allah SWT adalah ciptaan terbaik Nya. Saat seorang hamba husnuzhon kepada Allah SWT maka segala kebaikan akan dibukakan Allah SWT . Prasangka baik terhadap diri sendiri bahwa Allah SWT telah ciptakan diri ini sebagai sebaik baik ciptaan, prasangka baik terhadap hamba hamba Allah bahwa tidak ada satupun makhluq yang sia sia dalam penciptaannya pasti ada hikmah besar dibalik semua ini sehingga jangan berputus asa bila menghadapi semua masalah dan jangan pernah berburuk sangka kepada Allah SWT.


Monday 17 June 2019

Jangan mencela pendosa !


Tidak ada manusia yang sempurna tidak berdosa  sedikitpun dan tidak ada orang yang mau disalahkan atau dijelek jelekan sekalipun nyata nyata berbuat salah berbuat dosa. Bisa jadi dosa yang diperbuat oleh seorang hamba juga dibuat oleh yang menjelek jelekannya tanpa disadari dan bahkan dosanya jauh lebih besar.

Kita harus dapat membedakan antara manusia dengan perbuatan dosanya. Terhadap perbuatan dosa memang tidak ada toleransi, sedangkan terhadap pelaku dosa jangan dibenci.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)

Pada dasarnya sebagai hamba Allah SWT mempunyai sifat kasih sayang kepada ummat manusia. Sifat kasih sayang inilah yang akan mencegah seseorang berbuat dosa dan mendzalimi pendosa. Perbuatan dosa disebabkan karena ketidak tahuan pelakunya. Tidak tahu kalau hal itu menyebabkan penderitaan untuk orang lain juga penderitaan bagi diri sendiri. Maka dengan kelembutan dan kasih sayang, pendosa seperti itu diberitahu akibat akibat yang bisa ditimbulkan. Jika benar benar dilandasi dengan ketulusan ingin mengajak kepada kebenaran yakinlah in syaa Allah pendosa itu akan diberi hidayah oleh Allah SWT
Tak sedikit seseorang yang dulunya begitu jauh dari Allah menjadi sangat dekat kepada Allah saat hatinya sudah benar-benar Allah sentuh dengan kasih sayang-Nya sebab ketulusan hati yang ia miliki.

Jangan menjelek jelekan para pendosa.

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan saudaranya yang telah melakukan dosa, maka bisa jadi ia akan melakukan dosa tersebut.

ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ

“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. 
Maksudnya, engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.”

Beliau melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu yang dilakukan oleh saudaranya. Beliau berkata,

ﺃﻥ ﺗﻌﻴﻴﺮﻙ ﻷﺧﻴﻚ ﺑﺬﻧﺒﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺻﻮﻟﺔ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﺗﺰﻛﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺲ

“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan  saudaramu dan maksiat yang lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci.”

Kita tidak pernah tahu hidup kita dihari esok dan seterusnya, dan bisa jadi seseorang telah kita hinakan karena dosanya saat ini akan lebih mulia taubatnya daripada kita

Dakwah Rasulullaah saw semua bisa menerima bahkan tidak ada yang bisa menolaknya. Hindun r.ha yang sangat memusuhi Islam telah menjanjikan kepada Wahsyi ra membebaskannya dari perbudakan asal dapat membunuh paman Nabi Hamzah ra.. Maka Wahsyi ra pun berhasil membunuh paman Nabi Hamzah ra. Dengan sangat keji Hindun rha telah membelah dada Hamzah ra dan memotong jantungnya lalu dikunyah kunyah karena sangat murka terhadapnya. Hindun rha bersumpah tidak akan masuk Islam sampai mati. Tetapi akhirnya toh masuk Islam juga. 
Maka ketika dicemooh bahwa dia akhirnya masuk islam juga, Hindun rha mengatakan bahwa dia tidak masuk Islam tetapi Islamlah yang telah masuk kedalam dirinya. Apa rahasianya sehingga dakwah Islam tidak bisa ditolak ? 
Dua faktornya adalah dakwah Rasulullaah saw di syiarkan dengan penuh kasih sayang dan faktor kedua adalah dengan sangat bijaksana. In syaa Allah jika dakwah Islam disyiarkan mengikuti tauladan Rasulullaah saw yakni dengan kasih sayang dan kebijaksanaan bukan dengan caci maki hujat dan melaknat mudah mudahan Allah SWT akan memenangkan perjuangan ummat Islam demi kedamaian hidup yang dilandasi oleh nilai nilai yang benar benar islami.

Thursday 13 June 2019

Dunia hanya sarana dakwah

Dunia hanyalah sarana dakwah

Tidak ada kebahagiaan dan kemuliaan ummat manusia terlahir didunia melainkan ditaqdirkan sebagai ummat Islam akhir zaman. Allah SWT telah secara tegas mengabadikan didalam ayat suci Al Qur’an mengenai keistimewaan ummat Islam akhir zaman sebagai ummat yang terbaik !

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah...” (QS. Ali Imran: 110 ).

Maka seluruh ummat Islam akhir zaman adalah Dai tanpa terkecuali mempunyai kewajiban sama , menyampaikan apa apa yang bersumber dari Rasulullaah saw

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Bukhari, Ahmad dan Turmdzi).

Ummat Islam akhir zaman usianya pendek pendek, amalannya singkat tetapi masuk syurga awal dibanding ummat ummat nabi sebelumnya yang usianya panjang panjang serta amalannya juga lebih lama.
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ فَاخْتَلَفُوا فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ فَهَذَا يَوْمُهُمْ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ هَدَانَا اللَّهُ لَهُ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فَالْيَوْمَ لَنَا وَغَدًا لِلْيَهُودِ وَبَعْدَ غَدٍ لِلنَّصَارَى

Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Kami adalah umat terakhir, namun pertama pada hari kiamat. Kamilah yang pertama kali masuk surga. Walaupun mereka mendapatkan kitab suci sebelum kami dan kami mendapatkan kitab suci setelah mereka. Lalu mereka berselisih dan kami ditunjukkan Allah kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan. Inilah hari mereka, yang mereka berselisih padanya, dan Allah tunjukkan kepada kita”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Hari Jum’at, adalah hari kita, dan esoknya hari Yahudi, dan setelah esok adalah hari Nasrani. [HR Muslim].

Maksud dan tujuan utama hanyalah akhirat dengan memanfaatkan seluruh potensi, fasilitas serta sarana sarana yang Allah SWT anugerahkan didunia. Sangat penting untuk difahami bahwa dunia hanyalah sarana dan jangan dijadikan sebagai tujuan. Apabila sarana duniawi dijadikan sebagai tujuan maka urusan pasti akan tercerai berai.

Hadits dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كانت الدنيا هَمَّهُ فَرَّق الله عليه أمرَهُ وجَعَلَ فَقْرَهُ بين عينيه ولم يَأْتِه من الدنيا إلا ما كُتِبَ له، ومن كانت الآخرةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللهُ له أَمْرَهُ وجَعَلَ غِناه في قَلْبِه وأَتَتْهُ الدنيا وهِيَ راغِمَةٌ

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)

Kelebihan Allah SWT berikan bagi orang yang menjadikan Akhirat sebagai tujuan hidupnya dan sebaliknya kerugian yang sangat besar yang akan didapati ketika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya.
Banyak bukti bahwa sarana telah berubah menjadi  tujuan. Kelompok kelompok yang ada dalam ummat Islam semestinya saling menguatkan saling melengkapi saling memahami namun disebabkan kepentingan kepentingan dunia jadi saling menghina.saling bangga

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu. Dan apabila umatku saling menghina , maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah." (Hakim, Tirmidzi - Durrul Mantsur).

Akibat lanjut dari terlalu mengagungkan dunia menyebabkan ummat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang telah dikabarkan jauh jauh hari oleh Rasulullaah saw.
Dari Ibnu Umar, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda, “Benar-benar akan terjadi pada umatku seperti yag terjadi pada Bani Israel, layaknya sepasang terompah, sampai-sampai jika ada diantara mereka yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, tentu ditengah umatku ada pula yang berbuat demikian. Sesungguhnya Bani Israel terbagi menjadi 72 golongan , sedangkan umatku terbagi menjadi 73 golongan. Semuanya ada di neraka kecuali satu golongan. Mereka bertanya,”Golongan apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”yang berada pada jalanku dan para sahabatku”(HR Tirmidzi)

Yang sangat menarik dalam hal ini untuk difahami adalah sepatutnya seorang Dai hanya berfikir keselamatan. Tidak hanya berfikir selamat dirinya, keluarganya, kelompoknya melainkan semua ummat manusia akan diselamatkan. Rasulullaah saw telah menunjukkan dengan fikir Beliau agar seluruh ummat manusia selamat sampai manusia yang terakhir lahir di hari kiamat. Mengapa kita sebagai ummatnya hanya berfikir selamat untuk diri sendiri, sedang kelompok lainnya adalah ahli neraka. Bukankah semua ummat Islam Dai ? Yang berada pada jalanku dan para sahabatku. Siapa itu ? Yang berusaha menyelamatkan yang lainnya, bukan yang mengaku ngaku paling selamat selamat.

Maka semua anugerah dari Allah SWT hanyalah sarana , harusnya dijadikan sebagai alat untuk menyelamatkan ummat manusia keseluruhannya. Jika sarana  dijadikan sebagai tujuan demi kepentingan kepentingan duniawi urusan ummat Islam akan tercerai berai dan tujuan tidak akan tercapai yakni Ridlo Allah SWT. Tetapi ketika hanya Ridlo Allah SWT saja yang dituju dengan memanfaatkan semua sarana sarana yang ada termasuk keberadaan dan potensi ummat Islam yang ada maka in syaa Allah ummat Islam dan bahkan ummat manusia akan selamat semuanya. Itulah yang dirisaukan oleh Rasulullah saw hingga saat saat akhir kehidupan Beliau saw dan itulah yang semestinya menjadi kerisauan ummat Islam semuanya sebagai Dai akhir zaman.

Maka akhlaq seorang Dai dalam menyampaiakan dakwahnya dengan selalu mengikuti pedoman Al Qur’an

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An Nahl ayat 125)

Saturday 8 June 2019

Adil dalam menegakkan Kebenaran



Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوأَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8).

Diantara bentuk berbuat adil kepada musuh adalah menerima dan menyetujui kebenaran yang ada pada mereka.
As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas, “Sebagaimana kalian bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia memang salah, pent). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia memang benar, pent). Maka walaupun musuh itu adalah orang kafir atau penganut bid’ah maka tetap wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang mereka bawa. Kita terima kebenaran itu bukan karena dia yang mengucapkannya (akan tetapi karena ucapannya itu memang kebenaran, pent). Dan kebenaran tidak boleh ditolak hanya karena dia (musuh) yang mengucapkannya, karena perbuatan seperti ini adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”

Terimalah kebenaran walaupun datangnya dari orang kafir.

– Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Dua nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku, keduanya mengatakan sesuatu kepadaku,

إِنَّ أَهْلَ الْقُبُوْرِ يُعَذَّبُونَ فِي قُبُوْرِهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam kubur di siksa di dalam kubur mereka.”
Aku mendustakan keduanya, aku tidak senang membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku, maka aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dua nenek…”, aku menyebutkan kepada beliau.

فَقَالَ صَدَقَتَا إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ كُلُّهَا

Beliau bersabda : “Keduanya benar. Sesungguhnya mereka disiksa dengan siksa’an yang didengar oleh binatang-binatang semuanya.”

فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِي صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْر

Kemudian tidaklah aku melihat beliau di dalam shalat setelah itu, kecuali beliau berlindung dari siksa kubur.” [HR.Bukhari no.6366, Muslim no.586].

Kebenaran tidak boleh di tolak walaupun datangnya dari syetan sekalipun.

Dalam Shahih Bukhari disebutkan, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata ;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewakilkan padaku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada seseorang yang datang dan menumpahkan makanan dan mengambilnya.
Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu ia berkata, “Aku ini benar-benar dalam keada’an butuh. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.”
Abu Hurairah berkata, “Aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku : “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam ?”
Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keada’an butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.”
Aku pun tahu bahwasanya ia akan kembali sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Aku pun mengawasinya, ternyata ia pun datang dan menumpahkan makanan, lalu ia mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu ia berkata, “Biarkanlah aku, aku ini benar-benar dalam keada’an butuh. Aku memiliki keluarga dan aku tidak akan kembali setelah itu.”
Abu Hurairah berkata, “Aku pun menaruh kasihan padanya, aku membiarkannya.
Lantas di pagi hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu ?”
Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya pergi.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi”
Pada hari ketiga, aku terus mengawasinya, ia pun datang dan menumpahkan makanan lalu mengambilnya. Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini sudah kali ketiga, engkau katakan tidak akan kembali namun ternyata masih kembali.

قَالَ دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا

Ia pun berkata, “Biarkan aku. Aku akan mengajari suatu kalimat yang akan bermanfa’at untukmu.”

قُلْتُ مَا هُو ؟

Abu Hurairah bertanya, “Apa itu ?”

قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

Ia pun menjawab, “Jika engkau hendak tidur di ranjangmu, bacalah ayat kursi ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum …‘ hingga engkau menyelesaikan ayat tersebut. Faedahnya, Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”
Abu Hurairah berkata, “Aku pun melepaskan dirinya dan ketika pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam ?”
Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfa’at padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.”

قَالَ « مَا هِىَ ؟ »

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat tersebut ?”
Abu Hurairah menjawab, “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu baca’an ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia mengatakan padaku bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.”

فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَة

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang berbicara denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah ?”
“Tidak”, jawab Abu Hurairah.

قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.”
(HR. Bukhari no. 2311).

Riwayat diatas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa kebenaran itu harus kita terima, walaupun yang menyampaikannya setan sekalipun. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan perkata’an setan, yang asalnya pendusta. Dan riwayat tersebut juga menjadi petunjuk, bahwa kita boleh mengambil ilmu dari siapapun bahkan setan sekalipun apabila sudah di ketahui kebenarannya.
(Di ringkas dari penjelasan Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6: 487-490, Syarh Shahih Al Bukhari).

Dinukil dari
HIDUPKAN SUNNAH MATIKAN BID'AH By : Agus Santosa Somantri

Friday 7 June 2019

Hikmah Idul Fitri


Setelah selama satu bulan penuh ditempa untuk menundukkan hawa nafsu maka ummat Islam merayakan Iedul Fitri . Kembali ke fitrah (Idul Fitri) berarti kembali ke asal kejadian ketika manusia masih berupa ruh, hanya mengetahui , hanya meyakini Allah SWT semata mata.

Allah SWT berfirman:

 وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ


Referensi: https://tafsirweb.com/2626-surat-al-araf-ayat-172.html
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Referensi: https://tafsirweb.com/2626-surat-al-araf-ayat-172.html
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A`raf [7]: 172).

Fitrah sebagaimana bayi baru lahir adalah suci, maka kedua orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya sebagai yahudi ataupun nashrani. Maka salah satu hikmah perayaan Idul Fitri ialah perayaan atas keberhasilan ummat Islam kembali kepada kesucian Suci dari sifat sifat yahudi maupun sifat sifat nashrani . 
Sesungguhnya, hakikat hari raya Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill menundukkan nafsu, kita dapat kembali ke fitrah kembali kepada jalan yang lurus , shirothol mustaqim. Kembali dari jalannya orang orang yang dimurkai dan jalannya orang orang sesat
.
Di sisi lain, sesungguhnya Idul Fitri lebih layak dirayakan oleh Mukmin yang puasanya melahirkan takwa. Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqâtih). Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam QS Ali Imran [3] ayat 102. Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan:

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَ لَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ تَقْوَاهُ يَزِيْدُ

Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketakwaannya bertambah atau dengan kata lain untuk hamba hamba Allah yang senantiasa memperbaharui Imannya.

Salah satu definisi takwa dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah SWT haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka

Berpuasa sebulan penuh menjadikan hamba Allah yang bertaqwa. Perbuatan yang awalnya diperintahkan dan merupakan kebutuhan dasar hidup yakni makan dan minum tetapi pada bulan suci Rhamadlan menjadi haram pada waktu yang ditentukan. Tidak hanya itu kita wajib menjaga mulut kita menjaga fikiran kita menjaga hati kita sehingga tidak sampai hanya memperoleh lapar dan dahaga saja. Kesusahan dan kesulitan itu lah yang menghasilkan perubahan ke arah taqwa suatu derajad tertinggi seorang hamba Allah SWT yaitu melaksanakan semua perintah perintah Allah SWT atas dasar keyakinan dan keridlaan bukan karena keterpaksaan seperti mana seorang budak terhadap majikannya tetapi sebagaimana seorang kekasih kepada cintanya.

Pada hari raya idul fitri dimana mana dikumandangkan kalimat takbir yang menggema sehingga masuk ke relung relung hati ummat manusia. Kalimat inilah yang menjadikan ummat Islam dan ummat manusia pada umumnya memahami akan arti seorang hamba Allah. Bahwa seorang hamba hanyalah hamba yang tidak mengetahui apa apa, tidak memiliki apa apa tidak bisa berbuat apa apa, bukan lah siapa siapa. Hamba hanyalah seorang yang tidak ada apa apanya sama sekali. Kesadaran inilah yang akan melebur semuanya , dinding dinding kesombongan keangkuhan sehingga ummat manusia benar benar menyatu dalam penghambaan kepada Allah SWT semata semata. 

Maka hikmah berhari raya idul fitri hendaknya ada tiga hal yang harus difahami

Pertama betul betul kembali kepada fitrah yakni ummat muslim bahkan sepertimana bayi yang baru lahir. Taubat dari segala bentuk yang dimurkai Allah SWT dan dari segala kesesatan.
Kedua tingkatkan kwalitas amal , yang semula hanya sebatas menggugurkan kewajiban tanpa ada rasa gairah dalam beramal , menjadi amal yang didasari kecintaan dan ridla sebagaimana perasaan kepada kekasih hatinya.
Ketiga dengan takbir hanya membesarkan Allah SWT saja bahkan menafikan diri dan segala kebesaran duniawi lainnya maka barulah ummat manusia dapat menyatu dalam penghambaan kepada Allah SWT. Inilah solusi terhadap masalah masalah kehidupan duniawi yang hanya mementingkan kekuasaan yang bersifat fana dan semu.

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang selalu dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang (saja). Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Az-Zumar [39]: 29).

Sabda Nabi saw.:


إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَ سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Sungguh kalian benar-benar berhasrat terhadap kekuasaan, sementara kekuasaan itu (jika tidak dijalankan dengan amanah) akan menjadi penyesalan (bagi pemangkunya) pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).

Sunday 2 June 2019

Jangan pernah merasa cukup dalam beramal


Perasaan sudah cukup dengan amalan yang telah dilakukan akan menghentikan seseorang dari  usaha untuk menjadi lebih baik. Untuk pengingat siapapun juga jika sudah merasa cukup dengan amalan yang telah dilakukan, hendaknya membaca kisah kisah orang orang yang terdahulu. Niscaya, akan didapati perasaan bahwa amalan kita tidak ada apa-apanya.
Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya seorang Tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab tidak pernah sekalipun ketinggalan takbiratul ihram. Hanya dengan delapan hari saja shahabat Ubay bin Ka’ab sudah menghatamkan Al Quran. Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya Muhammad bin Jafar melaksanakan puasa 

Kita tidak diminta untuk menyaingi ibadah mereka, tetapi hati ini perlu berhati-hati dengan perasaan cukup akan kebaikan, sebab ianya bisa mencegah kita dari perbuatan baik lainnya. Ibarat orang yang sudah kenyang tidak akan makan, itulah umpama yang membuat orang-orang terdahulu begitu tersentak dan tak mau “merasa kenyang”, dan memilih untuk semangat beramal, karena mereka tidak pernah puas dengan kebaikan yang telah mereka lakukan.
Maka, berbuat baiklah dan jangan pernah puas. 

Namun perasaan tidak puas dalam meraih sebuah cita cita jika tidak kesampaian ada kalanya menimbulkan suatu kekecewaan dan bisa berakibat kemarahan. Maka berhati hatilah jika muncul gejala gejala seperti itu harus cepat cepat mawas diri, kendalikan diri secepat mungkin agar tidak menimbulkan akibat yang jauh lebih buruk
Marah memang menjadi bagian dari emosi yang sehat. Tetapi, dalam beberapa kasus, marah yang terus menerus atau persoalan kecil bisa membuat kemarahan meledak, itu menjadi pertanda hal yang lebih serius 

Perasaan ingin lebih baik dan sempurna dan tidak merasa puas dengan kondisi saat ini adalah hal yang sangat baik. Namun patut diingat jangan sampai berlebih lebihan. Dalam segala hal berlebih lebihan adalah tidak membawa kebaikan. Termasuk berlebih lebihan dalam beragama

Allah Azza wa Jalla berfirman:
  
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. [al-Mâ`idah/5:77]

Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

 “Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.
Itulah sebabnya Islam mengajarkan kepada seluruh ummatnya untuk wajib menuntut Ilmu Ilmu agama agar tidak sampai jatuh pada kondisi berlebih lebihan. Ilmu ilmu agama inilah yang akan mengontrol, membatasi  agar tidak jatuh pada Ghuluw.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

 “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

  “Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nuur [24]: 51).

Ilmu ilmu agama itulah yang akan menuntun kita pada kebenaran yang hakiki. Dalam memahami kebenaran seorang shahabat Nabi yang dikenal sebagai pintunya ilmu ilmu agama yakni Shahabat Ali bin Abi Thalib ra telah memberikan kepada kita konsep konsep kebenaran.

لَا تَعْرِف الْحَقَّ بِالرِّجَالِ ، اعْرِفْ الْحَقَّ ، تَعْرِفْ أَهْلَهُ

"Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal siapa di pihak yang benar." (Sayyidina Ali bin Abi Thalib)

Kalimat ini dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, juga kitab karyanya yang lain, Mîzânul 'Amal, ketika membahas tentang etika pencari ilmu dan guru. Imam al-Ghazali di kedua kitab tersebut menjelaskan tentang pentingnya mengetahui sesuatu secara objektif, apa adanya. Sebab, setiap ilmu secara analitis terlepas dari unsur indvidu manusia.
Pernyataan ini mengandung asumsi bahwa sesungguhnya manusia memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran secara mandiri. Memilah antara orang yang menyatakan "kebenaran" dan kebenaran itu sendiri penting agar kita tidak bias dalam menilai sesuatu. Tidak setiap yang datang dari orang yang kita cintai atau kagumi adalah benar, dan tidak pula seluruh yang bersumber dari orang yang sangat kita benci atau musuhi adalah salah. 

Di sinilah kemandirian berpikir sekaligus ketawadukan seorang pembelajar ditantang dan diuji. Ini juga menguatkan ungkapan populer yang berseru, "Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Pernyataan tersebut juga bukan berarti bahwa belajar kepada guru tidak penting. Justru sebaliknya, guru dalam pengertian luas bisa tersebar di mana-mana, bahkan siapa dan apa saja. Hanya saja, yang penting dicatat bahwa pembelajar adalah orang yang sedang mencari kebenaran, bukan sekadar menyerap informasi dari orang.

Ringkasnya dalam berbuat amal jangan ada kata sudah puas sebab kata sudah puas hanya akan menghentikan seorang hamba untuk beramal  yang lebih baik, lebih banyak, lebih sempurna. Namun harap hati hati jangan sampai lepas kontrol sehingga sampai emosi yang meletup letup dalam meraih amal amal agama. Jangan sampai berlebih lebihan dalam beragama ( Ghuluw ). Ghuluw adalah berlebih lebihan dalam beragama.  Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan. Maka sangat penting kedudukan Ilmu Ilmu agama dalam memahami hakekat kebenaran. Pelajaran penting yang hendak disampaikan Shahabat Ali ra adalah bahwa "Jangan kenali kebenaran berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal siapa di pihak yang benar." Dengan kata lain, "Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Wallahu a’lam