Dakwah Maksud Hidup


widgeo.net

Thursday 27 August 2020

Mensyukuri nikmat akal fikiran

 

Mensyukuri nikmat akal fikiran

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ

“Kami telah menjadikan untuk isi neraka Jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak digunakan untuk berfikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih hina lagi, Mereka itulah orang-orang yang lalai. “(QS. Al-A’râf [7]: 179).

Allah SWT tidak henti hentinya memberi hidayah kepada ummat manusia serta memberi semua fasilitas fasilitas dan kemudahan juga pertolongan  Nya namun tidak semua manusia mau menerima hidayah tidak semua mau mengusahakan hidayah tidak semua manusia mau memahami hidayah dari Nya. Tiidak semua manusia mau untuk bergerak mendekati Nya tidak semua manusia mau memanfaatkan semua fasilitas dari Allah SWT untuk kebajikan.








Sebagaimana contoh rizqi yang diberikan Allah SWT ada sebagian manusia memanfaatkan untuk ketaatan namun tidak sedikit manusia yang menggunakan untuk berbuat kemaksiatan. Kesehatan yang diberikan Allah SWT sebagian manusia memanfaatkan untuk beribadah kepada Allah SWT akan tetapi banyak juga yang menyia nyiakan . Ilmu yang Allah SWT telah limpahkan ada sebagian yang dimanfaatkan untuk disampaikan dan diamalkan tetapi ada juga yang disimpan sendiri tidak ada keinginan untuk menyampaikan dengan alasan malas, tidak ada waktu atau alasan lainnya.

Fungsi akal untuk membedakan mana yang benar mana yang salah mana yang buruk mana yang baik mana yang menyelamatkan mana yang membawa kebinasaan. Inilah ni’mat dari Allah SWT yang hanya diberikan kepada manusia sebab manusia dipilih sebagai Khalifah di muka bumi ini. Dengan akal yang Allah SWT anugerahkan diharapkan manusia mampu memilih jalan yang benar diantara jalan yang sesat, mampu memilih yang menuju kepada kebahagiaan diantara yang menuju kepada kesengsaraan mampu memilih yang menuju keselamatan daintara yang menuju kepada kebinasaan.

''Dari Ibnu Mas'ud RA, katanya, 'Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku,

“Tahukah kamu, siapakah orang yang paling cerdas itu?' Maka kujawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasul menjelaskan, 'Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling awas melihat kebenaran di kala manusia gemar berselisih paham, meskipun amal perbuatannya minim, meskipun ia hanya bisa merangkak di atas kedua tumit kakinya. Masyarakat bani Israil terpecah ke dalam 72 kelompok. Tiga dari sekian banyak kelompok itu akan selamat, sedangkan sisanya akan celaka'.''

Hadis Nabi yang dikisahkan dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:                                       

أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِينَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاس

 Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang yang berakal.”

Orang cerdas memikirkan dan mempersiapkan kematian seakan-akan ia meninggal pada esok hari. Karena itu mereka bersungguh-sungguh melakukan kebaikan dan ketakwaan. Ketika kematian disebutkan, mereka terdiam seakan-akan mereka sedang menghadapinya, mereka mengeluhkan betapa kurangnya persiapan untuk berjumpa dengan kematian.

Dengan begitu, orang cerdas yang macam ini akan terus berada di jalan-Nya. Sekali saja ia melanggar aturan Allah, ia akan teringat kembali akan bayang-bayang kematian yang siap menjemputnya. Sebab itulah ia tidak terlalu sering berada dalam puncak kebahagiaan, sebab yang sering diingatnya adalah kematian. Hal tersebut senada dengan hadis Nabi yang berbunyi:


Mengingat mati adalah ibadah yang sangat dianjurkan.

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.

 

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi.

 

Orang yang cerdas dengan orang yang pandai berbeda. Orang yang pandai belum tentu cerdas orang yang cerdas sudah pasti orang pandai.  Orang yang cerdas adalah orang yang memikirkan bekal keidupan di akhirat sedangkan orang yang bodoh hanya memikirkan kesenangan semata didunia.

Kisah Raja yang memberikan kesempatan kepada pemuda untuk menggantikan sementara selama 3 tahun dan kemudian dibuang ke sebuah hutan. Orang yang tidak menggunakan akalnya hanya bersenang senang saja selama waktu yang sangat singkat 3 tahun tetapi kemudian dia dibuang didalam hutan benlantara yang banyak binatang buasnya sementara orang yang cerdas selama 3 tahun dia telah mempersiapkan tempat pembuangan nya nanti untuk dijadikan istana baru maka saat 3 tahun berlalu hutan tersebut telah berubah menjadi istana yang sangat megah mewah.

Al-Qur’an tidak saja menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah. Ini antara lain terbaca dalam firman-Nya pada QS. Az-Zumar ayat 9:

"Apakah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulu al-Albab."

Allah  swt.,  menganugerahkan  akal  sebagai  kelebihan manusia  dibanding  dengan 


makhluk-makhluk-Nya  yang  lain.  Dengan  menggunakan akalnya  manusia  dapat  membuat  hal-hal  yang  dapat  mempermudah  urusan  mereka  di dunia.  Tetapi  segala  yang  dimiliki  manusia  sudah  tentu  ada  keterbatasan-keterbatasan sehingga   ada    batas-batas   yang   tidak   boleh   dilewati.   Meskipun   Islam   sangat memperhatikan  dan  memuliakan  akal,  tetapi  tidak  menyerahkan  segala  sesuatu  kepada akal, bahkan Islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal  terbatas  jangkauannya,  tidak  akan  mungkin  bisa  menjangkau  hakekat  segala sesuatu. Maka Islam menundukkan akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal wahyu dan sunnah harus di dahulukan

Manusia diberi kekuasaan dan kebebasan untuk memilih apa saja yang telah ditetapkan Allah SWT dengan bekal akal dan petunjuk dari Allah SWT serta fasislitas dan Pertolongan dari Nya berupa datangnya para Nabi Rasul dan para Shahabat ra ajmain serta para Ulama Ulama pewaris para Nabi dan lain lainnya

Allah SWT menciptakan makhluq diantaranya adalah golongan Jin Malaikat dan Manusia. Golongan Jin khususnya iblis laknatullah alaih memilih untuk menentang perintah Allah SWT yakni enggan bersujud menghormati Nabi Adam as sedangkan Malaikat tidak ada pilihan kecuali hanya taat kepada Allah SWT sejak diciptakan sampai hari kiamat sedangkan manusia diberi kekuasaan dan kebebasan untuk taat atau tidak taat bahkan menentang seperti iblis laknatullah alaih. Maka masing masing akan dimintai pertanggung jawabannya atas pilihannya tersebut.

Demikian juga QS. Ali-Imran ayat 7:menyebutkan manusia yang ada kecenderungan kepada hawa nafsu dengan akal akalannya bahkan menafsir nafsirka ayat ayat al Qur’an sesuai hawa nafsunya saja.


Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad SAW). Di antara ayat-ayat(nya) ada yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman dengannya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan Pemelihara kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Uli al-Albab."

Untuk meraih hal-hal di atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, al-Qur’an sekali menggunakan kata yatafakkarun. Kali lain menggunakan ya’qilun. Kali ketiga memakai yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain. Semuanya mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya).

Di samping itu, al-Qur’an menggarisbawahi perlunya menghindari hal-hal yang dapat menghambat akal untuk berpikir lebih jernih dan beramal lebih baik. Kecaman al-Qur’an terhadap mereka yang mengikuti tradisi leluhur tanpa dasar ilmu merupakan salah satu contoh dari penekanan kitab suci ini menyangkut pentingnya penggunaan akal.

Memang, kaum muslim dituntut untuk percaya, tetapi kepercayaan yang harus didukung oleh ilmu dan dikukuhkan oleh hati yang suci, bukan sekadar percaya atas dasar pengalaman dan pengamalan leluhur. Bertebaran ayat yang mengandung makna ini, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 170:

Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.'

Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta pemeliharaan kesucian nurani.

Di dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Sikap Nabi SAW, bahkan ucapan-ucapan beliau pun, menunjukkan kedudukan akal yang sangat penting. Perhatikanlah, antara lain dialog beliau dengan Mu’adz bin Jabal RA, yang beliau tugaskan ke Yaman untuk menangani urusan kaum Muslim di sana.

Nabi bertanya kepadanya: “Atas dasar apa engkau memutuskan perkara jika engkau harus memutuskan?”

Mu’adz menjawab: “Aku memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab Allah/ al-Qur’an.”

Nabi kembali bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan di sana?”

 “Dengan Sunnah Nabi SAW,“ jawab Mu’adz.

 “Kalau di Sunnah Nabi pun engkau tidak temukan?” tanya Nabi lagi.

Mu’adz menjawab: “Aku berijtihad/berusaha dengan sungguh menggunakan akalku tidak berlebih (dalam berijtihad).”

Mendengar jawabannya, Nabi SAW mengetuk dengan telapak tangan beliau ke dada Mu’adz pertanda memberi persetujuan beliau. Lalu Nabi bersabda:

Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah menuju apa yang diridai Rasulullah (HR. Ahmad, Abu Daud. Dan at-Tirmidzy).