Perasaan sudah cukup dengan amalan yang telah dilakukan
akan menghentikan seseorang dari usaha
untuk menjadi lebih baik. Untuk pengingat siapapun juga jika sudah merasa cukup
dengan amalan yang telah dilakukan, hendaknya membaca kisah kisah orang orang yang
terdahulu. Niscaya, akan didapati perasaan bahwa amalan kita tidak ada
apa-apanya.
Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya seorang
Tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab tidak pernah sekalipun ketinggalan
takbiratul ihram. Hanya dengan delapan hari saja shahabat Ubay bin Ka’ab sudah
menghatamkan Al Quran. Ketahuilah, bahwa selama lima puluh tahun lamanya
Muhammad bin Jafar melaksanakan puasa
Kita tidak diminta untuk menyaingi ibadah mereka, tetapi
hati ini perlu berhati-hati dengan perasaan cukup akan kebaikan, sebab ianya
bisa mencegah kita dari perbuatan baik lainnya. Ibarat orang yang sudah kenyang
tidak akan makan, itulah umpama yang membuat orang-orang terdahulu begitu
tersentak dan tak mau “merasa kenyang”, dan memilih untuk semangat beramal,
karena mereka tidak pernah puas dengan kebaikan yang telah mereka lakukan.
Maka, berbuat baiklah dan jangan pernah puas.
Namun perasaan tidak puas dalam meraih sebuah cita cita jika
tidak kesampaian ada kalanya menimbulkan suatu kekecewaan dan bisa berakibat
kemarahan. Maka berhati hatilah jika muncul gejala gejala seperti itu harus
cepat cepat mawas diri, kendalikan diri secepat mungkin agar tidak menimbulkan
akibat yang jauh lebih buruk
Marah memang menjadi bagian dari emosi yang sehat.
Tetapi, dalam beberapa kasus, marah yang terus menerus atau persoalan kecil
bisa membuat kemarahan meledak, itu menjadi pertanda hal yang lebih serius
Perasaan ingin lebih baik dan sempurna dan tidak merasa
puas dengan kondisi saat ini adalah hal yang sangat baik. Namun patut diingat
jangan sampai berlebih lebihan. Dalam segala hal berlebih lebihan adalah tidak
membawa kebaikan. Termasuk berlebih lebihan dalam beragama
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ
الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. [al-Mâ`idah/5:77]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs
Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau
berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil
tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian
beliau berkata:
أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ
فِي الدِّينِ
“Lemparlah dengan
batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui
batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian
adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan
berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa
keyakinan maupun perbuatan.
Itulah sebabnya Islam mengajarkan kepada seluruh ummatnya
untuk wajib menuntut Ilmu Ilmu agama agar tidak sampai jatuh pada kondisi
berlebih lebihan. Ilmu ilmu agama inilah yang akan mengontrol, membatasi agar tidak jatuh pada Ghuluw.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu
wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir
no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah.
Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim
yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat.
Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya
ucapan orang-orang yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah
dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat”. Dan hanya merekalah
orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nuur [24]: 51).
Ilmu ilmu agama itulah yang akan menuntun kita pada
kebenaran yang hakiki. Dalam memahami kebenaran seorang shahabat Nabi yang
dikenal sebagai pintunya ilmu ilmu agama yakni Shahabat Ali bin Abi Thalib ra
telah memberikan kepada kita konsep konsep kebenaran.
لَا تَعْرِف الْحَقَّ بِالرِّجَالِ ، اعْرِفْ الْحَقَّ ، تَعْرِفْ
أَهْلَهُ
"Jangan kenali kebenaran berdasarkan
individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau akan kenal
siapa di pihak yang benar." (Sayyidina Ali bin Abi Thalib)
Kalimat ini dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’
‘Ulûmiddîn, juga kitab karyanya yang lain, Mîzânul 'Amal, ketika membahas
tentang etika pencari ilmu dan guru. Imam al-Ghazali di kedua kitab tersebut
menjelaskan tentang pentingnya mengetahui sesuatu secara objektif, apa adanya.
Sebab, setiap ilmu secara analitis terlepas dari unsur indvidu manusia.
Pernyataan ini mengandung asumsi bahwa sesungguhnya
manusia memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran secara mandiri. Memilah
antara orang yang menyatakan "kebenaran" dan kebenaran itu sendiri
penting agar kita tidak bias dalam menilai sesuatu. Tidak setiap yang datang
dari orang yang kita cintai atau kagumi adalah benar, dan tidak pula seluruh
yang bersumber dari orang yang sangat kita benci atau musuhi adalah salah.
Di
sinilah kemandirian berpikir sekaligus ketawadukan seorang pembelajar ditantang
dan diuji. Ini juga menguatkan ungkapan populer yang berseru, "Lihatlah
apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Pernyataan tersebut juga bukan berarti bahwa belajar
kepada guru tidak penting. Justru sebaliknya, guru dalam pengertian luas bisa
tersebar di mana-mana, bahkan siapa dan apa saja. Hanya saja, yang penting
dicatat bahwa pembelajar adalah orang yang sedang mencari kebenaran, bukan
sekadar menyerap informasi dari orang.
Ringkasnya dalam berbuat amal jangan ada kata sudah puas
sebab kata sudah puas hanya akan menghentikan seorang hamba untuk beramal yang lebih baik, lebih banyak, lebih
sempurna. Namun harap hati hati jangan sampai lepas kontrol sehingga sampai
emosi yang meletup letup dalam meraih amal amal agama. Jangan sampai berlebih
lebihan dalam beragama ( Ghuluw ). Ghuluw adalah berlebih lebihan dalam
beragama. Ghuluw dalam agama itu sendiri
adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh
syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan. Maka sangat penting kedudukan
Ilmu Ilmu agama dalam memahami hakekat kebenaran. Pelajaran penting yang hendak
disampaikan Shahabat Ali ra adalah bahwa "Jangan kenali kebenaran
berdasarkan individu-individu. Kenalilah kebenaran itu sendiri, otomatis kau
akan kenal siapa di pihak yang benar." Dengan kata lain, "Lihatlah
apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan."
Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment
Kami akan sangat berbahagia apabila anda memberi komentar atas tulisan di atas. Jazakallooh atas segala perhatiannya.