Mensyukuri nikmat akal fikiran
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا
لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ
لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ
“Kami telah menjadikan untuk isi neraka
Jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai hati (akal), tetapi
tidak digunakan untuk berfikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan
untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk
mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih hina lagi, Mereka
itulah orang-orang yang lalai. “(QS. Al-A’râf [7]: 179).
Allah
SWT tidak henti hentinya memberi hidayah kepada ummat manusia serta memberi
semua fasilitas fasilitas dan kemudahan juga pertolongan Nya namun tidak semua manusia mau menerima
hidayah tidak semua mau mengusahakan hidayah tidak semua manusia mau memahami
hidayah dari Nya. Tiidak semua manusia mau untuk bergerak mendekati Nya tidak
semua manusia mau memanfaatkan semua fasilitas dari Allah SWT untuk kebajikan.
Fungsi
akal untuk membedakan mana yang benar mana yang salah mana yang buruk mana yang
baik mana yang menyelamatkan mana yang membawa kebinasaan. Inilah ni’mat dari
Allah SWT yang hanya diberikan kepada manusia sebab manusia dipilih sebagai
Khalifah di muka bumi ini. Dengan akal yang Allah SWT anugerahkan diharapkan
manusia mampu memilih jalan yang benar diantara jalan yang sesat, mampu memilih
yang menuju kepada kebahagiaan diantara yang menuju kepada kesengsaraan mampu
memilih yang menuju keselamatan daintara yang menuju kepada kebinasaan.
''Dari Ibnu Mas'ud RA, katanya,
'Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku,
“Tahukah
kamu, siapakah orang yang paling cerdas itu?' Maka kujawab, 'Allah dan
Rasul-Nya lebih tahu.' Kemudian Rasul menjelaskan, 'Orang yang paling cerdas
adalah orang yang paling awas melihat kebenaran di kala manusia gemar
berselisih paham, meskipun amal perbuatannya minim, meskipun ia hanya bisa
merangkak di atas kedua tumit kakinya. Masyarakat bani Israil terpecah ke dalam
72 kelompok. Tiga dari sekian banyak kelompok itu akan selamat, sedangkan
sisanya akan celaka'.''
Hadis Nabi yang dikisahkan
dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda:
أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِينَ
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم
لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاس
“Orang mukmin yang paling utama adalah
orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang cerdas adalah orang yang paling
banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk
menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang yang berakal.”
Dengan begitu, orang cerdas yang macam ini akan terus berada di jalan-Nya. Sekali saja ia melanggar aturan Allah, ia akan teringat kembali akan bayang-bayang kematian yang siap menjemputnya. Sebab itulah ia tidak terlalu sering berada dalam puncak kebahagiaan, sebab yang sering diingatnya adalah kematian. Hal tersebut senada dengan hadis Nabi yang berbunyi:
Mengingat mati adalah ibadah yang sangat dianjurkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ
اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ.
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu
kematian”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi.
Orang yang cerdas dengan
orang yang pandai berbeda. Orang yang pandai belum tentu cerdas orang yang
cerdas sudah pasti orang pandai. Orang
yang cerdas adalah orang yang memikirkan bekal keidupan di akhirat sedangkan
orang yang bodoh hanya memikirkan kesenangan semata didunia.
Kisah Raja yang memberikan
kesempatan kepada pemuda untuk menggantikan sementara selama 3 tahun dan
kemudian dibuang ke sebuah hutan. Orang yang tidak menggunakan akalnya hanya
bersenang senang saja selama waktu yang sangat singkat 3 tahun tetapi kemudian
dia dibuang didalam hutan benlantara yang banyak binatang buasnya sementara
orang yang cerdas selama 3 tahun dia telah mempersiapkan tempat pembuangan nya
nanti untuk dijadikan istana baru maka saat 3 tahun berlalu hutan tersebut
telah berubah menjadi istana yang sangat megah mewah.
Al-Qur’an tidak saja
menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya
untuk meraih ilmu dan hikmah. Ini antara lain terbaca dalam firman-Nya pada QS.
Az-Zumar ayat 9:
"Apakah
orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri,
sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?' Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulu
al-Albab."
makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Tetapi segala yang dimiliki manusia sudah tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada batas-batas yang tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan Islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menjangkau hakekat segala sesuatu. Maka Islam menundukkan akal terhadap Wahyu dan Sunnah Nabi saw., artinya di dalam segala hal wahyu dan sunnah harus di dahulukan
Manusia
diberi kekuasaan dan kebebasan untuk memilih apa saja yang telah ditetapkan
Allah SWT dengan bekal akal dan petunjuk dari Allah SWT serta fasislitas dan
Pertolongan dari Nya berupa datangnya para Nabi Rasul dan para Shahabat ra
ajmain serta para Ulama Ulama pewaris para Nabi dan lain lainnya
Allah
SWT menciptakan makhluq diantaranya adalah golongan Jin Malaikat dan Manusia.
Golongan Jin khususnya iblis laknatullah alaih memilih untuk menentang perintah
Allah SWT yakni enggan bersujud menghormati Nabi Adam as sedangkan Malaikat
tidak ada pilihan kecuali hanya taat kepada Allah SWT sejak diciptakan sampai
hari kiamat sedangkan manusia diberi kekuasaan dan kebebasan untuk taat atau
tidak taat bahkan menentang seperti iblis laknatullah alaih. Maka masing masing
akan dimintai pertanggung jawabannya atas pilihannya tersebut.
Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad SAW). Di antara ayat-ayat(nya) ada yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman dengannya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan Pemelihara kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Uli al-Albab."
Untuk meraih hal-hal di
atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, al-Qur’an sekali
menggunakan kata yatafakkarun. Kali lain menggunakan ya’qilun. Kali ketiga
memakai yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain. Semuanya
mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan
dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu
al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya).
Di samping itu, al-Qur’an
menggarisbawahi perlunya menghindari hal-hal yang dapat menghambat akal untuk
berpikir lebih jernih dan beramal lebih baik. Kecaman al-Qur’an terhadap mereka
yang mengikuti tradisi leluhur tanpa dasar ilmu merupakan salah satu contoh
dari penekanan kitab suci ini menyangkut pentingnya penggunaan akal.
Memang, kaum muslim dituntut
untuk percaya, tetapi kepercayaan yang harus didukung oleh ilmu dan dikukuhkan
oleh hati yang suci, bukan sekadar percaya atas dasar pengalaman dan pengamalan
leluhur. Bertebaran ayat yang mengandung makna ini, antara lain Q.S. Al-Baqarah
ayat 170:
Apabila dikatakan kepada
mereka (oleh siapa pun): 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka
menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
perbuatan nenek moyang kami.'
Di dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ
مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Sikap Nabi SAW, bahkan
ucapan-ucapan beliau pun, menunjukkan kedudukan akal yang sangat penting. Perhatikanlah,
antara lain dialog beliau dengan Mu’adz bin Jabal RA, yang beliau tugaskan ke
Yaman untuk menangani urusan kaum Muslim di sana.
Nabi
bertanya kepadanya: “Atas dasar apa engkau memutuskan perkara jika engkau harus
memutuskan?”
Mu’adz
menjawab: “Aku memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab Allah/
al-Qur’an.”
Nabi
kembali bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan di sana?”
“Dengan Sunnah Nabi SAW,“ jawab Mu’adz.
“Kalau di Sunnah Nabi pun engkau tidak
temukan?” tanya Nabi lagi.
Mu’adz
menjawab: “Aku berijtihad/berusaha dengan sungguh menggunakan akalku tidak
berlebih (dalam berijtihad).”
Mendengar
jawabannya, Nabi SAW mengetuk dengan telapak tangan beliau ke dada Mu’adz
pertanda memberi persetujuan beliau. Lalu Nabi bersabda:
No comments:
Post a Comment
Kami akan sangat berbahagia apabila anda memberi komentar atas tulisan di atas. Jazakallooh atas segala perhatiannya.